Jakarta – Mimpi pasar modal Indonesia untuk bisa merambah pasar asing melalui mekanisme Cross Border Offering atau penawaran lintas negara masih jauh dari harapan. Langkah ini terganjal oleh undang-undang pasar modal sendiri. Padahal di Asean saja, sudah ada 3 negara yang telah menawarkan mekanisme tersebut di instrumen reksadana dan saham.
Saat ini aturan yang berlaku di Indonesia mewajibkan investor untuk menjadi anggota bursa agar bisa bertransaksi dan dapat Perantara Pedagang Efek (PPE) yang diterbitkan OJK. Dengan aturan ini tentu broker di luar negeri tidak punya izin sehingga mereka tidak bisa transaksi di bursa saham Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida menyebutkan, bahwa pasar modal Indonesia terus mendorong untuk ikut dengan tiga negara tersebut dalam rangka penawaran reksa dana lintas negara.
“Tapi untuk ikut cross border offering ada yang terkendala dengan ketentuan hukum, sehingga harus disesuaikan dulu dengan yang disyaratkan,” kata Nurhaida, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (19/8).
Menurutnya, penerapan penawaran efek lintas negara untuk pasar modal Indonesia masih terkendala UU pasar modal, maka dari itu ketentuan tersebut harus ditandatangani oleh profesi penunjang yang ada di dalam daftar OJK. “Kalau terapkan cross border offering, maka prospektus ditandatangani oleh profesi penunjang negara asal, dan tidak terdaftar di OJK, sehingga tidak bisa,” terang Nurhaida.
Dalam menerapkan cross border offering, Nurhaida mengakui, setidaknya ada perubahan UU pasar modal. Tapi, hal itu sangat disayangkan, karena perubahan UU pasar modal tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) di 2016.
Sebelumnya, OJK menyebut pasar modal di negara-negara ASEAN akan diintegrasikan sehingga lebih mudah untuk saling bertransaksi. Meski tak merinci secara khusus untuk pasar modal syariah, namun dalam tahap pengenalan ini diharapkan transaksi antarpasar modal ASEAN menjadi lebih efisien.
Hal ini terangkum dalam MEA recognition. Jika ini diberlakukan maka aturan yang diberlakukan antar negara tidak perlu berlapis-lapis. Hal ini tentunya akan membuat biaya lebih efisien karena bisa langsung bertransaksi tanpa banyak aturan. Tapi tujuan ini belum bisa diwujudkan karena belum ada payung hukum yang diatur secara Undang-Undang (UU).
“Bagaimana caranya kemudian merecognasi secara timbal balik. Bagaimana mereka akui broker kita dan sebaliknya. Mereka akui manajer investasi kita dan sebalinya. Ini yang masih dalam proses, sudah lama pembahasan tapi belum bisa berjalan dan terealisasi karena aturan UU di negara berbeda, jadi masih belum bisa berjalan,” jelas dia.
Oleh karena itu, OJK terus mendorong agar pelaku di pasar modal di Indonesia bersiap dan meningkatkan daya saing mereka. Misalnya saja, dari 10 negara ASEAN yang sudah bisa melakukan ASEAN Collection Investment Skill hanya Malaysia, Singapura, dan Thailand. (Wh)