JAKARTA-Fenomena makin maraknya perusahaan penyedia layanan jasa keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) hingga penggunaan mata uang digital (cryptocurrency) terus mencuri perhatian masyarakat. Di lain pihak, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh dua otoritas keuangan nasional, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dinilai terlalu lamban dalam mengikuti laju perkembangan yang ada di industri terkait. Di bidang fintech, misalnya, baru ada aturan jelas mengenai jenis layanan Peer to Peer (P2P) Lending, sedangkan praktik fintech di sektor lain seperti investasi patungan (crowdfunding), asuransi dan beragam lagi lainnya masih ‘abu-abu’. Sedangkan di bidang penerapan cryptocurrency, justru terjadi sikap bertolak belakang antara BI dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Di saat BI melarang seluruh aktifitas transaksi di wilayah Indonesia dengan menggunakan cryptocurrency sebagai alat pembayaran, Bappebti justru membuka kemungkinan diperdagangkannya berbagai produk cryptocurrency di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) di bawah naungannya. “Pemerintah memang sejauh ini masih terkesan melihat perkembangan yang ada ini sebagai hal yang menakutkan dan berisiko tinggi. Pengaturannya masih cenderung protektif, belum bicara soal insentif yang mempermudah pelaku industri agar semakin berkembang,” ujar ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Lantaibursa.id, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Karena semangatnya protektif dan melihat perubahan sebagai ancaman, menurut Bhima, lembaga regulator seperti BI dan OJK kerap kali terlihat terburu-buru dalam memutuskan kebijakan yang bakal diterapkan di industri. Misalnya saja di bidang fintech, BI diketahui tengah melakukan penghentian sementara (suspend) terhadap beberapa layanan fintech, seperti Grabpay dan Tokopedia. “Padahal kan urusan ijin bisa parallel dengan update sistem keamanan. Kalau tiba-tiba disuspend gitu justru yang dirugikan adalah konsumen. Lalu juga soal larangan untuk cryptocurrency. Ini semua bukti bahwa regulasi yang ada bukannya memberi kemudahan tapi justru menghambat perkembangan,” tutur Bhima. Dengan permasalahan yang ada sifatnya lebih pada pola pikir (mindset), lanjut Bhima, maka solusi yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan percepatan regenerasi di dalam tubuh BI dan OJK. Dalam pandangan Bhima, mindset yang mendasari berbagai kebijakan BI dan OJK saat ini masih identic dengan mindset generasi tua yang konvensional dan cenderung tidak berpikiran terbuka lantaran lebih mengedepankan kehati-hatian dibanding pertumbuhan yang perkembangan industri. “Dengan adanya percepatan regenerasi baru ke depan bisa kita harapkan pola pikir dari regulator yang lebih industri oriented, bukan birokrasi oriented. Selain itu regulator juga perlu merekrut sebanyak mungkin pelaku industri fintech masuk ke dalam struktur mereka agar lebih bisa memahami industrinya,” tegas Bhima. (JAT)