Selalu ada benang merah yang bisa ditarik dari aktifitas dan kebiasaan bertransaksi para investor pemula di industri pasar modal nasional. Meski tak bisa juga disimpulkan secara general, namun secara rata-rata, ada kesamaan kecenderungan diantara para beginner trader yang terdorong untuk mengoleksi saham-saham ‘populer’. Sebut saja saham-saham dari perusahaan Bakrie Group atau MNC Group yang banyak dikenal lewat popularitas pemiliknya, meski kinerja sahamnya tentu tidak jaminan bakal cuan untuk dikoleksi. Atau misalnya di sektor properti ada saham-saham Ciputra Group, lalu di sektor logistik dan transportasi ada saham PT Blue Bird Tbk (BIRD), boleh dibilang profil perusahaan dari saham-saham itu relatif cukup tenar di mata publik. Tapi untuk mengandalkannya dalam mengais profit di lantai perdagangan, eits nanti dulu.
Bagi investor yang sudah fasih trading, urusan mengeruk untung dari aktifitas transaksi saham tidak bisa dilekatkan begitu saja pada ketenaran atau citra sebuah brand dari sebuah saham. Boleh jadi, saham yang sepintas terlihat remeh namun dengan strategi dan timing yang tepat, dapat memberikan keuntungan yang berlipat. Sebaliknya, saham-saham yang sudah terkenal bisa jadi justru berpotensi menjebak kita dalam posisi dilematis. Mau tetap dikoleksi namun tren harganya tak pernah naik, tapi kalau mau dilepas secara harga masih terhitung cut loss. Bisa saja karena kita membelinya saat harganya sudah kemahalan sehingga tidak lagi menyisakan room untuk bullish, atau juga memang dasarnya saham itu tidak memiliki fundamental yang kuat dan hanya bergerak berdasarkan rumor alias saham gorengan. Alhasil, tak sedikit investor yang terjebak di dalamnya.
Media
Membincang persoalan citra, hal sama menurut Saya juga cukup menggambarkan kondisi yang kini tengah terjadi di industri media di Indonesia. Terjebak citra. Kita sama-sama tahu bahwa sebagai alat penyebar informasi, dunia jurnalistik sudah sejak pangkal mulanya dulu telah membawa sejumlah nilai-nilai adiluhung yang memang pantas untuk dijaga dan dihormati. Azas netralitas, keberpihakan pada kepentingan publik dan sederet spirit ideal lain bisa disebutkan melekat pada posisi dan peran jurnalistik di tengah masyarakat. Namun tak bisa dimungkiri juga, posisi perusahaan media yang bergerak di bidang jurnalistik sebagai sebuah entitas bisnis tentu tak akan pernah lepas dari pendekatan untung dan rugi. Hal ini kemudian mau tak mau secara tidak langsung menarik posisi media dari yang semula adiluhung di awang-awang menjadi lebih realistis dan (sayangnya) pragmatis.
Seolah tak ingin mengakui hal itu, banyak pelaku industri media saat ini yang mati-matian menjaga citra dan persepsi postifnya di tengah masyarakat. Sayangnya upaya menjaga citra itu menurut Saya sejauh ini hanya dilakukan hanya sebatas pada persepsi yang berkembang di masyarakat, dan tak dibarengi dengan hal-hal yang lebih prinsip dan substansial, misalnya terkait perbaikan standar gaji wartawan yang selama ini seolah hanya menjadi bahan berita namun tak kunjung ada yang menepatinya. Dampak ironis dari hal itu, pada akhirnya membuat para pelaku industri media hidup dalam dua tuntutan yang tak mudah, bertahan dengan minimnya gaji namun di saat yang sama harus menjaga citra jurnalistik yang terlampaui ‘suci’.
November 2010, pemberitaan pasar modal nasional seketika digegerkan dengan tudingan pemerasan oleh beberapa oknum wartawan seiring proses Initial Public Offering (IPO) PT Krakatau Steel Tbk. Tudingan itu mulai mengemuka diawali oleh pemberitaan salah satu media nasional ternama tentang istilah ‘penjatahan saham’ dalam serangkaian proses IPO perusahaan BUMN yang kelak berkode emiten KRAS itu. Bagi kalangan investor, istilah ‘penjatahan saham’ adalah frasa lumrah tanpa tendensi negatif sama sekali dan sudah sejak lama digunakan dalam proses pembelian saham perdana sebuah perusahaan. Namun dengan berbekal semangat memberitakan tanpa adanya upaya memahami konteks industri secara komprehensif, tudingan dilempar ke publik secara serampangan.
Bagi Anda yang awam soal dunia pasar modal, proses penjatahan saham dapat dijelaskan secara simpel bahwa karena saham yang akan dilepas ke publik dalam proses IPO terbatas, maka setiap investor peminat harus memesannya terlebih dahulu saat proses bookbuilding dilakukan. Setelah semua pesanan direkap, misalnya saja diperoleh angka seratus miliar lembar saham yang telah dipesan. Sedangkan saham yang akan dijual hanya satu miliar lembar. Maka secara prinsip setiap pemesan seratus lembar saham akan mendapat ‘jatah’ satu lembar saham. Memang pada praktiknya tidak akan persis dan presisi sesuai perhitungan itu karena saham tidak mungkin dibeli satuan melainkan minimal per satu lot (100 lembar). Namun secara prinsip istilah penjatahan saham dapat dijelaskan seperti itu. Lalu karena menggunakan istilah ‘jatah’ maka apakah sang pemesan mendapatkan saham secara gratis layaknya para preman pasar mengutip ‘jatah uang keamanan’? Tentu saja tidak. Transaksi tetap berjalan normal dan legal. Para pembeli saham tetap membayar sesuai harga perdana saham. Tak ada yang salah.
Namun kepongahan media (terutama media-media besar) dengan mudahnya (dan ceroboh) mengubah standar dari yang semula benar dan tidak masalah menjadi salah dan karenanya layak dipermasalahkan. Juga soal standar boleh-tidaknya seorang wartawan membeli dan memiliki saham. Sejauh yang Saya tahu, faktanya belum ada aturan tegas kepemilikan saham oleh wartawan. Setiap perusahaan media memiliki ketentuan masing-masing dengan pendekatan dan alasan yang saling berbeda satu sama lain. Ada yang membolehkan, mengijinkan dengan syarat dan ada pula yang sama sekali melarangnya. Di perusahaan media di mana Saya pernah bergabung, misalnya, wartawannya justru dianjurkan memiliki saham karena dua alasan, pertama untuk sarana investasi hari tua dan kedua agar dapat memahami secara tepat kondisi dan bahkan psikologis seorang investor dalam sebuah aktifitas transaksi. Namun sekali lagi, kepongahan mendorong media-media besar seolah merasa berhak bersikap sebagai ‘Polisi Jurnalistik’ bagi pelaku media yang bahkan bukan karyawannya.
Kepongahan itu pada akhirnya menyeret empat nama wartawan yang terpaksa harus berjibaku dengan kasus IPO Krakatau Steel ini. Dua diantaranya terpaksa mengundurkan diri atas tekanan yang ada di kantornya. Satu lagi benar-benar diberhentikan oleh media tempatnya bernaung hingga harus berperkara di pengadilan. Sedang satu lagi bernasib sedikit mujur karena masih dipertahankan namun dialihtugaskan dari desk pasar modal. Empat nama itu, atas dasar ‘kesucian’ nama jurnalistik, harus dikorbankan nama baiknya agar nama medianya tetap ‘bersih’. Dan faktanya, setelah melalui serangkaian proses hukum baik di Dewan Pers dan Pengadilan, telah diputuskan bahwa keempat nama itu tidak bersalah dan salah satu media nasional ternama yang menjadi awal mula pemberitaan ini harus menyampaikan permohonan maaf di media nasional. Hingga saat ini permohonan maaf itu tak pernah disampaikan, dan keempat nama telah terlanjur kehilangan pekerjaan(dan juga nama baik)nya.
Membincang soal pihak-pihak yang dikorbankan demi menjaga ‘kesucian’ nama jurnalistik di masyarakat, sebenarnya bukan hanya satu contoh di atas saja yang bisa dikemukakan. Ada teramat banyak yang bisa dikisahkan. Beragam Asosiasi Wartawan berdiri. Keberadaannya kerap kali diasosiasikan secara negatif sebagai wadah oknum-oknum tertentu mencari keuntungan yang ‘kurang halal’. Namun di lain pihak ada juga forum wartawan yang berisi para petinggi perusahaan media. Lalu bila kelompok wartawan-wartawan grass root dianggap buruk, bagaimana dengan yang dilakukan para petingginya? Mengapa tidak turut distigma negatif juga? Bila para ‘pion’ dengan mudah dituduh dan dinyatakan bersalah lalu dipaksa kehilangan pekerjaannya, siapa yang bisa menimpakan tuduhan serupa pada bos yang juga melakukan hal dan perilaku yang sama?
The Aviator
Dengan kondisi tersebut, apa yang terjadi dalam industri media menurut Saya tak ubahnya dengan obsesi kebersihan yang pada sebagian orang terjadi secara berlebihan. Dalam istilah psikologi, kondisi itu disebut sebagai Obsessive-Compulsive Disorder (OCD). Salah satu penggambaran yang cukup apik dan bijak terkait kondisi kelainan ini bisa kita lihat, salah satunya, melalui sebuah film yang rilis pada tahun 2005 berjudul The Aviator. Film yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio ini mengambil setting antara tahun 1927 hingga 1947 dan mengangkat kisah biografi tentang tokoh penerbangan sekaligus produser film kenamaan, Howard Hughes. Di tengah prestasi dan segala aktifitasnya sebagai tokoh kenamaan, Hughes memiliki ‘sisi gelap’ tentang sikap perfeksionisnya dan kebiasaannya mencermati hal-hal detil, hingga soal kebersihan yang sangat berlebihan. Orang-orang di sekitarnya menjadi sangat bingung dan tak jarang direpotkan akibat kebiasaannya itu. Bahkan dalam satu kondisi, Hughes harus kehilangan Katharine Hepburn, wanita yang dicintainya, juga diantaranya akibat obsesi tak biasanya itu.
Sayang, bila OCD yang dialami oleh Hughes bisa dilihat benar-benar didasarkan pada hal-hal dan kejadian yang sebenarnya terjadi. Didasarkan pada fakta. Sedangkan obsesi ‘kebersihan’ yang sejauh ini terjadi pada industri media baru hanya berkutat pada citra dan persepsi yang ada di masyarakat. Apa pun akan dilakukan agar citra jurnalistik tetap baik. Tak peduli ada banyak pihak yang harus terkorbankan oleh upaya menjaga citra itu. Upaya menjaga kebersihan itu sepertinya tak diniatkan untuk benar-benar dilakukan di realita. Dan bila itu dibiarkan, nama baik jurnalistik Saya pikir akan hanya selalu terjebak pada seremoni dan jargon semata. Selamat Hari Pers! Semoga kebersihan itu tidak hanya berhenti pada mengorbankan para pekerja pers kelas teri, namun juga menjadi ruh untuk membenahi industri pers dan jurnalistik secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Semoga. (JAT)