Atas nama prudensialitas, industri perbankan hampir selalu identik dengan sistem yang sangat rumit dan berlapis. Namun apa yang bisa mereka lakukan ketika kini mulai dikepung oleh para pesaing lembaga jasa keuangan lain, yang justru lebih banyak menjual kemudahan, kenyamanan dan simplisitas dalam bertransaksi bagi para nasabahnya?
JAKARTA-Dipa masih rebahan di sofa. Di dalam sebuah ruko tempat dia dan teman-temannya mengelola bisnis, di Kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sembari bersantai, jemari Dipa sibuk menari-nari di atas layar ponsel yang digenggamnya. Bukan. Dipa bukan sedang bermain mobile legend (ML) atau memesan makan siang lewat layanan antar ojek online (ojol). Yang sedang dilakukannya adalah membuka rekening Digibank, produk digital banking milik Bank DBS Indonesia. Sekitar satu jam berselang, seorang lelaki berkemeja rapi datang mengetuk pintu. “Silakan masuk,” ujar Dipa. Dia adalah petugas DBS yang ‘jemput bola’ menghampiri calon nasabah untuk melakukan beragam standar operasional prosedur (SOP) perbankan terkait aturan Know Your Customer (KYC) dari otoritas/regulator. Berkas identitas diri seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cukup difoto menggunakan ponsel si petugas. Tanda tangan juga dibubuhkan lewat ponsel menggunakan stylus pen. Tak sampai 10, semua proses selesai dan Dipa telah memiliki rekening barunya.
Rekening Digibank keluaran Bank DBS seperti yang dimiliki Dipa merupakan salah satu pioneer produk rekening digital di pasar perbankan Indonesia. Bersama Jenius yang dikeluarkan oleh PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), kedua produk itu bahkan bisa dianggap menjadi salah satu alasan awal hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Agustus 2018 lalu sudah merasa perlu untuk menerbitkan Peraturan Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. “Kalau soal electronic channel saat ini sudah ada 80 bank, dan itu bentuknya digital banking. Tapi yang sudah benar-benar menerapkan secara menyeluruh baru dua, yaitu dari BTPN dan DBS. Beberapa masih proses. Ini yang akan terus kami dorong,” ujar Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Antonius Hari, usai penerbitan aturan.
Dan benar saja. Sejak saat itu, satu per satu perbankan besar mulai mengikuti jejak DBS dan BTPN dengan meluncurkan rekening digitalnya masing-masing. Sebut saja PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank CIMB NIaga Tbk, kini tengah getol memperkenalkan produk rekening digitalnya di masyarakat. Sasarannya tentu saja kalangan masyarakat kekinian yang lebih akrab disebut sebagai generasi milenial. “Sebagian besar nasabah yang membuka rekening digital, itu sekitar 80 persen dari total pembukaan rekening digital, adalah datang dari kalangan milenial,” ujar Kepala Divisi Product Management BNI, Donny Bima, awal bulan ini.
Prudent
Dengan hadirnya produk rekening digital dan juga dengan diperkuat oleh Peraturan OJK terbaru, kini proses pembukaan rekening bank bisa dilakukan jauh lebih mudah dan nyaman. Nasabah tidak perlu lagi secara fisik datang ke bank dan lalu mengisi belasan lembar form secara manual dengan deretan pertanyaan rumit dan menyelidik. Namun, dari sekian lompatan kemudahan yang telah terjadi tersebut, pertanyaan mendasar yang kembali mengemuka adalah soal faktor keamanan alias prudentialitas yang selama ini menjadi ‘jargon’ sekaligus kekuatan utama perbankan dibanding lembaga jasa keuangan lain. “Karena sebenarnya form bertumpuk yang harus kita isi saat membuka rekening itu gunanya untuk apa sih? Saya yakin customer service yang melayani kita juga kalau boleh memilih juga gak mau berlama-lama melayani satu calon nasabah. Lalu apa pentingnya? Jawabannya ya hanya satu: faktor keamanan,” ujar Co-Founder sekaligus Chief Technology Officer (CTO) Nodeflux, Faris Rahman, saat ditemui di kantornya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Karenanya, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini, tantangannya adalah tidak semata-mata mempercepat proses atau memangkas sekian prosedur yang tadinya berlapis menjadi lebih simpel. Yang perlu dilakukan adalah bukan memangkas prosedur yang ada, melainkan memindahkannya dari semula dikerjakan secara manual oleh manusia menjadi dikerjakan oleh komputer secara digital, sehingga bisa cepat dan bersifat massif. “Jadi kita mendelegasikan tugas-tugas yang selama ini dikerjakan oleh karyawan bank ke teknologi digital. Kita bikin kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), lalu kita suplai dia dengan pasokan data atau pengetahuan sebanyak-banyaknya agar teknologi ini bisa bekerja sebagaimana kita,” tutur Faris.
Atas dasar gagasan itulah, menurut Faris, Nodeflux tertantang untuk mengembangkan teknologi Face Recognition (FR) berbasis vision AI, input dan analitic AI di bawah naungan VisionAIre. Proyek pengembangan ini sejalan dengan posisi Nodeflux yang selama ini masih menjadi perusahaan vision AI pertama dan terbesar di Indonesia. Khusus untuk menyasar sektor perbankan, Nodeflux telah menyiapkan platform VisionAIre Know Your Customer (KYC) yang diyakini dapat sangat membantu dalam mendongkrak otomasi proses verifikasi perbankan di Indonesia. “Lewat platform VisionAIre KYC ini, kami ingin menghadirkan teknologi Vision AI dengan kemampuan analitik FR untuk dapat memverifikasi data e-KYC dan sistem otentikasi nasabah secara lebih cepat dan akurat,” ungkap Faris.
Pengakuan
Dengan inovasinya yang ‘nyleneh’ di bidang perbankan tersebut, Nodeflux pun kebanjiran apresiasi dari berbagai pihak. Ernst & Young, misalnya, menyebut bahwa terobosan soal otomasi verifikasi data via e-KYC merupakan lompatan cukup penting bagi industri perbankan. Hal itu lantaran dengan adanya e-KYC maka dengan sendirinya menjawab salah satu persoalan krusial di perbankan yaitu masalah akurasi data dan juga efisiensi waktu pelayanan terhadap nasabah. Berbeda dengan sistem konvensional yang mengharuskan petugas bank untuk melakukan verifikasi data nasabah secara manual, lewat e-KYC nasabah hanya perlu memindai dokumen pengenal dan fotonya untuk dapat terverifikasi otomatis secara sistem. Dengan pendekatan baru itu, Ernst & Young memperkirakan proses verifikasi data yang semual membutuhkan waktu setidaknya sekitar 18 menit, dengan menggunakan e-KYC besutan Nodeflux proses verifikasi data hanya membutuhkan waktu tak lebih dari satu menit saja.
Jika Ernst & Young lebih menyoroti soal kecepatan layanan verifikasi data, dilibatkannya Nodeflux sebagai bagian dari penyelenggara International Monetary Fund (IMF) and World Bank (WB) Annual Meeting di Bali pada Oktober 2018 lalu dengan sendirinya juga merupakan pengakuan atas prudentialitas sistem yang dimiliki oleh Nodeflux. Pasalnya dalam event internasional tersebut, Nodeflux dipercaya sebagai penyedia teknologi face recognition untuk sistem pengamanan acara yang dihadiri oleh berbagai tokoh besar dunia dan sedikitnya 3.500 delegasi dari 189 negara anggota. Tak hanya itu, Nodeflux juga menyediakan software License Plate Recognition (LPR) sebagai alat deteksi plat-plat kendaraan yang hilir-mudik di lokasi sekitar penyelenggaraan acara.
Atas kemampuannya di bidang AI itu, Nodeflux diundang sebagai salah satu dari 200an lebih pembicara dalam World Summit AI, yang digelar di Amsterdam, Belanda, pada awal Oktober lalu. Terbaru, Nodeflux juga dipercaya sebagai pembibcara resmi dalam Forum Pameran Teknologi Dunia, CeBIT, di Australia, akhir bulan ini. Yang paling fenomenal adalah keberhasilan Nodeflux menembus peringkat ke-25 dari 90 perusahaan AI terkemuka di dunia dalam hal penilaian algoritma pemrograman pada Face Recognition Vendor Test (FRVT) 2019 oleh National Institute of Standards and Technology (NIST). Didirikan sejak 1901 silam, NIST merupakan lembaga standardisasi sekaligus salah satu laboratorium bidang sains dan Teknik tertua di Amerika Serikat (AS). “Dengan capaian (peringkat ke-25) itu, mereka menilai bahwa sistem algoritma yang kami pakai dalam teknologi yang kami bangun itu sangat kuat dalam hal sekuritisasi. Artinya bahwa sistem yang kami buat sangat lah aman, bahkan menurut standar pemerintah AS,” tegas Faris.
(Taufan Sukma)