Sebut saja namanya Denok. Wajahnya cukup cantik. Kulitnya bersih. Dia cukup komunikatif dan mudah akrab untuk diajak berbincang. Gaya bicaranya pun renyah dan cukup menyenangkan bagi lawan bicara. Secara tampilan pun, tak ada yang berbeda dari penampilannya dengan kebanyakan wanita seumuran dia. Malah, Denok terlihat cukup piawai dalam memadupadankan pakaian yang sedang dia kenakan, sehingga selalu terlihat menarik untuk dipandang.
Tak ada yang tahu pasti berapa usia Denok. Dia tak banyak bercerita tentang identitas pribadinya. Dia hanya mengaku tinggal di Cikeas. Bukan, dia bukan tetangga dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia adalah menantu dari mantan Presiden ke-6 Indonesia itu. Ya, menantu. Denok adalah istri dari putra sulung SBY, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Nah, bukannya istri AHY adalah Annisa Pohan yang mantan artis sekaligus anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aulia Pohan, itu? “Bukan. Justru Annisa Pohan itu yang merebut AHY dari Saya,” ujar Denok, singkat. Lho, kok?
*****
Sebelum terlibat dalam perbincangan yang nyeleneh di atas, boleh jadi hampir semua orang yang berinteraksi dengan Denok tak akan mengira bahwa wanita muda itu adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Sehari-hari, Denok tinggal dan dirawat di Griya PMI Peduli yang berada di bawah naungan kerja Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Solo. Di sana, Denok berkumpul dengan 98 ODMK lainnya, yang terdiri dari 55 pria dan 43 wanita. Sementara itu, bagi pada ODMK yang berusia lanjut oleh Griya PMI Peduli ditempatkan secara terpisah di Griya Bahagia agar mendapatkan perawatan yang lebih intensif dan sesuai. “Mereka ini nggak ada yang diketahui asal-usulnya. Bahkan nama saja kami hanya memanggil sesuai pengakuan mereka masing-masing saja. Nggak ada data atau identitas sama sekali. Rata-rata mereka ini ditemukan petugas (Griya PMI Peduli) dari jalanan. Nggak bawa apa-apa. Nggak punya apa-apa. Ada juga mereka yang ke sini dulu diantar keluarganya dan tidak pernah lagi dijenguk sama sekali sampai detik ini. Mereka ini orang-orang yang sengaja dibuang oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya sendiri karena malu punya keluarga seperti mereka (ODMK),” ujar Triana Rahmawati, pendiri Griya Schizofren, saat ditemui, di Solo, beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, Griya Schizofren merupakan sebuah komunitas kecil yang didirikan pada tahun 2012 lalu oleh beberapa mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo. Sejak didirikan, Griya Schizofren memang concern pada berbagai kegiatan pendampingan terhadap ODMK dengan pendekatan sosial kemasyarakatan. Namun karena keterbatasan personel, Tria dan teman-temannya di Griya Schizofren memilih fokus untuk melakukan pendampingan pada para ODMK di Griya Rumah Peduli. “Apakah (Griya Schizofren) nggak buka ‘cabang’ di tempat lain, di panti-panti ODMK lain di luar Kota Solo atau malah luar Jawa? No. Dengan banyak tempat kami khawatir justru apa yang kami lakukan nanti jadi tidak maksimal. Di tempat lain ya harapannya agar ada orang atau pihak lain yang juga bergerak. Soal apa yang perlu dilakukan dan sebagainya, kita bisa bekerjasama,” tutur Tria.
Memanusiakan
Sembari menyeruput segelas milkshake di salah satu kedai tongkrongan mahasiswa di Kawasan UNS Solo, Triana mengisahkan awal mula dirinya terpikir mendirikan Griya Schizofren. Saat itu di sebuah angkringan di dekat kosan tempat dia tinggal, Triana sedang mengantre membeli takjil untuk persiapan berbuka puasa. “Saat itu Bulan Ramadhan. Tapi kok ada satu orang yang makan duluan. Saya tanya ke tukang angkringannya, kok itu sudah ada yang adzan (berbuka) duluan? Dijawabnya ‘Nggak usah digagas (digubris) Mbak, wong kuwi kan edan (kan itu orang gila).’ Jawaban itu ngena’ banget di Saya, karena bagaimana pun kan mereka itu juga manusia. Sama dengan kita. Pengin dimanusiakan juga. Siapa sih orangnya yang suka ketika tidak digubris, tidak di’orang’kan oleh orang lain? Nggak ada,” ungkap Triana.
Berbekal keprihatinan tersebut, Triana beserta beberapa teman dari Griya Schizofren mulai melakukan berbagai kegiatan, yang sebagian besar diantaranya dalam bentuk berinteraksi secara sosial dengan para ODMK. Triana juga bersyukur bahwa idenya tersebut mendapat support dari Griya PMI Peduli sebagai ‘tuan rumah’ tempat para ODMK ini tinggal dan menghabiskan waktunya sehari-hari. “Salah satu cara yang kami pilih untuk memanusiakan mereka (ODMK) adalah menyentuh sisi finansialitasnya. Bagaimana pun sebagai manusia mereka tentu punya kebutuhan seperti makan, minum, misal yang perempuan beli pembalut. Sekadar bedak dan semacamnya untuk bersolek, atau yang cowok anggap lah beli jajan atau rokok. Intinya biarpun ODMK mereka juga tetap butuh uang,” tutur Triana.
Diakuinya, untuk berbagai kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan semacamnya, hal itu sudah ditanggung oleh Griya PMI Peduli. Namun demikian, pendanaan untuk memenuhi kebutuhan itu juga sangat terbatas lantaran Griya PMI Peduli hanya mengandalkan dari dana donasi yang terkumpul, yang secara nominal tentu tidak seberapa. Hal itu masih belum memperhitungkan kebutuhan sekunder para ODMK yang meski terkesan sepele namun dengan jumlah mereka yang hampir mencapai 100 orang, tentu kebutuhannya secara nominal juga tidak bisa diremehkan. “Akhirnya kami berinisiatif untuk create something yang bisa dijual. Apa saja. Misal mereka suka menggambar, nanti gambarnya disalin di kain kanvas dan dijadikan tas jinjing sebagai gift. Yang suka cerita atau menulis, kami bukukan dan jual bukunya. Lalu bikin kerajinan. Seenjoy mereka saja, namun menghasilkan,” ungkap Triana.
Hasil dari aktifitas ekonomi tersebut, dijelaskan Triana, sebagian besar memang dimanfaatkan untuk membantu pendanaan Griya PMI Peduli. Namun sebagian besar diantaranya juga dipercayakan untuk disimpan para ODMK itu sendiri sebagai pegangan ketika mereka sedang keluar dari panti dan berinteraksi dengan masyarakat umum. Sembari terus mengajak para ODMK itu untuk menghasilkan produk yang bernilai jual, Griya Schizofren juga secara perlahan menanamkan pemahaman pada mereka soal pentingnya sebagai seorang manusia untuk memiliki penghasilan. Dengan begitu, keberadaan mereka akan lebih dihargai ketika harus bergaul dengan masyarakat luas ketika keluar dari Griya PMI Peduli. “Paling nggak ketika mereka keluar (panti) lalu pengin jajan atau beli rokok, mereka tidak minta atau malah mencuri. Mereka punya uang sendiri. Dengan begitu mereka tidak gampang dilecehkan secara sosial,” papat Triana.
Tabungan
Mengomentari kegiatan yang dijalankan oleh Triana dan teman-temannya di Griya Schizofren, Financial Advisor MoneySmart Indonesia, Ayyi Achmad Hidayah, menyatakan apresiasinya. Menurut Ayyi, pendekatan yang digagas oleh Triana tersebut cukup out of the box namun masih dalam koridor edukasi keuangan dalam bentuk yang lain. Bagaimana kegiatan yang dilakukan berusaha memberdayakan kalangan ODMK, yang selama ini harus diakui masih luput dari sotoran berbagai pihak, namun secara riil memang tetap membutuhkan uang seperti manusia pada umumnya. “Bagus tuh. Idenya cukup brilian, yaitu memanusiakan manusia, salah satunya melalui pendekatan finansial. Dan itu memang sangat mendasar dan naluriah. Bagaimana pun, manusia pasti butuh uang sebagai penghidupan,” ujar Ayyi, dalam kesempatan terpisah.
Karena sudah bagus, menurut Ayyi, yang perlu dilakukan oleh Triana dan Griya Schizofren selanjutnya ke depan adalah semakin mengembangkan edukasi keuangan tersebut pada tahap selanjutnya, yaitu dalam bentuk tabungan. Meski mungkin diawali dengan nominal yang sangat minim, kebiasaan menabung itu juga perlu secara perlahan ditanamkan setelah para ODMK tersebut telah memiliki kesadaran untuk menghasilkan uang lewat beragam aktifitas produktif. Tentu dengan mempertimbangkan faktor keamanan dan juga berbagai syarat adminsitrasi, bisa saja kendali atas tabungan itu tetap dalam pengawasan tim Griya Schizofren sebagai semacam advisor. “Namun goals yang mau kita dapat intinya adalah budaya menabungnya. Budaya menyisihkan penghasilannya untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Kalau perlu jika tabungan itu sudah terkumpul, ajarkan juga tentang pemahaman investasi. Belikan emas atau deposito. Tentu tetap ada penyesuaian-penyesuaian dalam hal penjelasannya di lapangan. Tapi ketika ada peluang ke arah sana, itu lebih baik,” tegas Ayyi.
(Taufan Sukma)