Matanya masih sembab karena kurang tidur. Kantung matanya masih hitam. Selepas menempuh perjalanan udara selama lebih dari 17 jam, laju mobil belum lagi diarahkannya ke rumah, melainkan langsung menuju kantor di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sejumlah meeting telah menunggunya di sana. Rasa Lelah dan penat tentu masih melekat kuat di raga, namun semangat dan antusiasme dalam mengelola sesuatu yang baru membuatnya kembali bugar dan langsung siap menjalani serangkaian schedule yang telah disiapkan oleh tim sekretarisnya.
Namanya Faris Rahman. Dia baru saja tiba dari Amsterdam guna menghadiri World Summit artificial intelligence (AI) yang digelar di Negeri Kincir Angin itu. Di sana, Faris didapuk sebagai pembicara mewakili Nodeflux, perusahaan vision AI yang didirikannya pada tahun 2016 lalu bersama Meidy Fitranto, sahabatnya sesama lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam event yang mempertemukan lebih dari 6.000 pegiat ekosistem AI dari seluruh dunia itu, Nodeflux merupakan satu-satunya pembicara asal Indonesia, dari total 200an pembicara internasional yang tampil.
Kini, setibanya di Indonesia, Faris juga sudah harus bersiap mewakili Indonesia sebagai pembicara resmi dalam CeBIT Australia, konferensi sekaligus trade show tahunan terbesar dalam hal Information Technology (IT), digitalisasi dan komunikasi. Dengan jadwal kesibukannya yang bertumpuk, Tim Redaksi Lantaibursa.id cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk berbincang langsung dengan pria yang kini menjabat sebagai Co-Founder sekaligus Chief Technology Officer (CTO) Nodeflux ini. Berikut ini rangkuman hasil wawancaranya.
Anda masih terlihat sangat lelah setelah perjalanan jauh, tapi Anda sudah ngantor hari ini?
Ya, karena Saya dan tim harus segera bersiap lagi untuk materi yang akan kami bawakan di Australia (CeBIT), jadi terpaksa harus ngantor, Hehehe… Tapi Saya sangat excited karena artinya untuk kesekian kali eksistensi Nodeflux khususnya di ekosistem AI internasional sudah cukup diakui. Pilihan kami untuk lebih fokus pada jenis layanan intelligent video analytics (IVA) juga sudah mulai diapresiasi oleh banyak pihak. Alhamdulillah.
Apresiasi dari luar negeri sudah digenggam. Undangan sebagai pembicara hingga ke Australia, Belanda dan sebagainya sudah didapat. Kalau apresiasi dari dalam negeri sendiri bagaimana?
Sudah cukup bagus. Dalam event International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group (WBG) Annual Meeting di Bali pada 8 sampai 14 Oktober 2018 lalu, kami dipercaya untuk ikut membantu dari segi keamanan acara. Dihadiri perwakilan negara-negara dan juga pihak swasta hingga lebih dari 3.500 delegasi dari 189 negara, termasuk juga tokoh-tokoh penting ikut hadir, seperti Jack Ma dari Alibaba, Melinda Gates yang merupakan istri dari Bill Gates, sekaligus pendiri Bill & Melinda Gates Foundation, dan lain-lain. Di sana kami menyediakan teknologi surveillance berbasis kecerdasan buatan (artificial inteliigence/AI). Melalui software license plate recognition (LPR) kami membantu Kepolisian RI untuk mengenali setiap kendaraan yang keluar-masuk lokasi acara. Kami juga sediakan teknologi pengenalan wajah (face recognition/FR) sehingga setiap orang yang ada di sana tidak akan luput dari pantauan kami. Dua bantuan itu menjadi faktor kunci fast response jajaran kepolisian dalam mengambil langkah keamanan dan tepat dan efektif.
Sebelum itu, berbekal LPR dan FR juga kami diberi amanah untuk membantu terkait keamanan dalam gelaran Asian Games di Jakarta dan Palembang pada tahun 2018 lalu. DI luar itu, hingga saat ini kami juga terlibat dalam kerjasama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan kepolisian setempat untuk menginisiasi banyak hal, misal konsep smart city hingga sistem tilang otomatis dan sebagainya. Terbaru, alhamdulillah kami juga dianugerahi penghargaan 9th SATU Indonesia Award yang diselenggarakan oleh PT Astra International Tbk dalam rangkaian IdeaFest 2018, karena kami dianggap memberikan kontribusi positif pada masyarakat dan sekaligus menjadi sumber inspirasi generasi muda, dalam hal ini di bidang teknologi.
Oke sebelum berbincang lebih jauh, bisa diceritakan awal mula Anda punya ide mendirikan Nodeflux?
Kalau ditanya ide awal justru sangat simpel. Seperti lazimnya orang-orang yang sudah lulus kuliah, Saya juga ingin untuk segera punya kerjaan. Ada sih beberapa tawaran saat itu untuk jadi orang kantoran. Tapi lama-kelamaan bosan juga ya. Dari sana Saya bersama Meidy (rekan bisnis Faris saat mendirikan Nodeflux) bertekad ingin berbisnis. Bahkan sempat jualan keripik segala, cuma nggak berkembang. Sampai satu saat kami berdua dapat proyek pengolahan big data. Dari sana kami mulai cari-cari tahu soal big data dan akhirnya kami tersadarkan bahwa potensi di bisnis (big data) ini sangat besar.
Apa yang membuat Anda dan Meidy seketika meyakini bahwa bisnis big data menjanjikan?
Karena memang untuk kehidupan saat ini keberadaan data adalah yang utama. Kalau dulu orang-orang terkaya di dunia adalah saudagar minyak, negara-negara besar sampai perang berebut cadangan minyak, bisa dibilang bahwa saat ini ‘data is the new oil in the world’. Dengan menguasai data orang bisa lakukan apa saja. Orang rela membayar mahal untuk sebuah data. Kehidupan orang bisa berjalan lebih mudah dengan adanya data. Jika kita bisa mengelola data dengan tepat dan memanfaatkannya secara maksimal dan tentunya bertanggung jawab, kita akan bisa mengubah ‘dunia’. Selama ini bisa dibilang data berserak di mana-mana, tapi kita belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Setiap orang punya data-data di handphone, di akun media sosial (medsos), di data kependudukannya, meski kesannya sepele namun pada dasarnya ada banyak sekali problem yang ada saat ini bisa kita urai dan selesaikan lewat data-data itu.
Tapi ketika data Anda bilang sangat penting, Nodeflux sendiri justru sedikit menggeser concern dari semula semata-mata ‘bermain’ data lewat pengelolaan big data menjadi layanan intelligent video analytics (IVA), kenapa?
Patut dipahami bahwa pasar big data dan AI di Indonesia itu masih sangat baru. Baru di tahap awal, sehingga secara prospek pasti sangat besar sekali. Namun di lain pihak, karena teramat sangat baru, secara pasar juga masih cukup challenging karena belum banyak perusahaan yang mau dan merasa perlu untuk memanfaatkan teknologi baru ini. Karena itu kami kemudian beralih ke IVA. Ini pun kan bukan berarti sama sekali berubah bisnis. Banyak kesamaan antara pengolahan big data dan IVA. Bedanya tinggal bahwa big data lebih menyasar ke analisis data secara keseluruhan, sedangkan yang kami geluti saat ini adalah menganalisa video yang telah tersaji. Karena sudah tersaji dalam bentuk video, baru banyak orang tertarik. Secara pasar mulai ada pergerakan yang menggembirakan.
Value penting apa yang bisa Anda berikan pada pasar dari teknologi IVA ini?
Secara garis besar teknologi Nodeflux bisa diimplementasikan dalam lima sektor, yaitu security surveillance, traffic management, advertising, ritel dan smart city. Simpelnya, kami lebih memaksimalkan peran sebuah alat penangkap gambar, kamera CCTV (Closed Circuit Television) misalnya, untuk tidak lagi hanya merekam dan menyimpan gambar atau video saja, melainkan bisa melakukan analisis lebih jauh atas gambar atau video yang bisa mereka tangkap, lalu dianalisa berdasarkan basis data yang telah dimiliki sebelumnya. Contoh konkretnya di bidang surveillance & security system, misalnya, teknologi kami telah dimanfaatkan oleh Mabes Polri dan sejumlah Polda untuk pengamanan pengunjung pada Asian Games 2018 lalu. Lalu juga untuk pengamanan event IMF-World Bank Group Summit 2018 lalu di Bali, kami juga dipercaya untuk membantu lewat teknologi kami.
Sebenarnya apa yang dilakukan Nodeflux lewat video-video yang terekam lewat CCTV tadi? Seperti apa cara kerja teknologi yang Anda kembangkan ini?
Banyak orang yang bertanya tentang hal ini. Secara sederhana kami bisa menjawab bahwa kalau imajinasi orang-orang dulu adalah bisa membuat robot yang sangat canggih sehingga bisa melakukan apa saja, maka yang kami lakukan bukanlah membuat robotnya, melainkan mengcreate otak dan kecerdasan di balik robot tersebut. Makanya tadi Saya bilang bahwa meski kami kini lebih fokus pada video, namun basicnya tetap sama tentang manajemen dan analisis data. Di acara IMF-World Bank Group Summit 2018 kami menerapkan teknologi pengenalan wajah (face recognition). Sumber datanya kami dapat dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Sumber data inilah yang kami suntikkan sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kepada perangkat yang ada, sehingga lewat video yang ditangkap via CCTV, sudah dapat dikenali siapa-siapa saja peserta yang hadir tadi.
Contoh pemanfaatan lain yang lebih bisa dirasakan oleh masyarakat dari teknologi Anda ini seperti apa?
Baru-baru ini kami memperkenalkan pemanfaatan teknologi face recognition untuk industri perbankan. Manfaatnya untuk masyarakat, jadi Anda bisa bayangkan betapa proses administrasi di perbankan yang selama ini sangat rumit, ketat dan take time banget itu bisa kita permudah, kita bikin simpel dengan bantuan teknologi face recognition.
Caranya?
Kami menggabungkan Vision AI, input dan analitik AI dari berbagai riset serta teknologi lainnya dalam konsep yang kami sebut VisionAIre. Teknologi ini akan sangat membantu perbankan dalam proses Know Your Customer (KWC) untuk meningkatkan otomasi verifikasi data nasabah. Ini akan meningkatkan akurasi data dan juga efisiensi waktu. Jika sebelumnya proses KYC dilakukan secara manual, melalui e-KYC nasabah hanya perlu memindai dokumen pengenal dan fotonya untuk verifikasi keabsahannya secara otomatis. Teknologi face recognition akan membandingkan antara wajah yang diinput dengan data wajah yang dijadikan sebagai sumber referensi. Dengan begini proses verifikasi bisa dipercepat dari semula 18 menit menjadi hanya satu menit saja.
Dengan semua proses dilakukan secara otomatis dan digitalized, seperti apa tingkat keamanannya?
Untuk pertanyaan itu, kami tidak bisa beretorika. Biar fakta yang menjawabnya. Sejauh ini, teknologi face recognition kami telah mendapat berbagai pengakuan global. Kualitas keamanan teknologi kami mampu bersaing dengan lebih dari 90 perusahaan teknologi AI terkemuka di dunia, seperti dari China dan juga Rusia. Sekadar informasi, teknologi kini telah meraih peringkat ke-25 untuk face recognition vendor test (FRVT) dari National Institute of Standards and Teknology (NIST). Jika ada yang masih awam, NIST ini adalah salah satu lembaga yang bertugas menakar tingkat keamanan berbagai layanan publik yang dipercaya oleh Pemerintah AS. Ini tentu adalah satu capaian yang bisa menggambarkan posisi Nodeflux dalam kancah persaingan perusahaan teknologi di level internasional.
Dengan segala capaian itu, apa yang kini masih ingin dikejar oleh Nodeflux?
Seperti yang Saya sampaikan di awal, bahwa secara industri AI, big data, face recognition dan semacamnya ini masih sangat baru, terutama di Indonesia. Tantangan kami adalah bagaimana sebisa mungkin menjembatani keberadaan teknologi ini ke industri riil, sehingga dampak dan manfaatnya secara konkret semakin bisa dirasakan lagi di masyarakat. Ada banyak peluang pemanfaatan yang bisa kita kembangkan ke depan. Tinggal bagaimana kemudian setiap peluang ini kita jawab satu per satu sesuai kapasitas dan kemampuan kita saat ini. Dan satu lagi, kami ingin agar masyarakat Indonesia secara umum kini lebih melek teknologi. Sejauh ini kami masih cukup kesulitan untuk mendapatkan talent yang mumpuni dan siap pakai dari dalam negeri. Ini menjadi tantangan kami juga dalam konteks yang lain, yaitu agar dapat ikut berkontribusi untuk terus memperbanyak sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi, karena memang faktanya saat ini masih cukup terbatas. Semoga ke depan Nodeflux dapat menjawab tantangan itu satu per satu secara bertahap. Semoga.
(Taufan Sukma)